BALADA PENYIAR RADIO
by
DAMAR GUMILAR
- Oktober 15, 2019
sumber : hipwee.com |
“Setelah kuliah, mau ngapain ya? Mau menjadi dokter muda terlebih dahulu atau aku menggapai cita-citaku menjadi penyiar radio?”, pikirku dalam hati sambil membereskan barang-barang yang ada di kamar kosku untuk segera dibawa kembali ke kampung halamanku. Setelah itu, aku dan keluargaku menunaikan salat Isya berjamaah. Lalu, makan malam di sebuah restoran favorit keluargaku dan meneruskan perjalanan kembali ke rumahku di Lumajang meninggalkan kota di mana aku kuliah, Surabaya. Selama perjalanan pulang, pertanyaan itu selalu membayangiku. Lalu, aku tidur sambil bermimpi.
***
Seminggu ini aku menjalankan ibadah Salat Istikharah setelah Salat Tahajud agar aku diberi kemudahan apakah aku melanjutkan sebagai dokter ataukah sebagai penyiar radio, cita-citaku sejak dulu. Tapi sayangnya, mimpi belum juga datang. Walaupun kedua orang tuaku tidak menyetujui, namun akhirnya bapak dan ibuku merestuinya dengan catatan hanya sebagai hobi saja dan tidak mengganggu aktivitasku sebagai dokter.
Beberapa saat kemudian, aku mendaftarkan diri sebagai penyiar radio di sebuah stasiun radio swasta terkenal di kotaku. Tes administrasi, tes IQ, tes wawancara sudah kulampaui untuk menggapai cita-cita itu. Alhamdulillahirobbil’alamin, sejauh ini aku sudah masuk 10 besar peserta pencari bakat dalam bidang broadcast itu. Hingga pada saat yang ditunggu-tunggu, yaitu membawakan suatu acara musik di stasiun radio tersebut. Aku sudah mempersiapkan sedini mungkin.
Setelah itu, aku duduk disebuah kursi panjang yang terdapat dua orang yang sedang menunggu. Yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. Kemudian, aku berkenalan dengan mereka yang usianya lebih tua dariku. Mereka juga merupakan salah satu peserta pencari bakat broadcasting tersebut. Mereka adalah Kak Rezkyana dan Kak Gilang. Kak Rezkyana umurnya 4 tahun lebih tua dariku, yaitu 25 tahun. Ia sudah mempunyai suami namun ia belum dikaruniai momongan. Sebenarnya, ia sudah lulus sarjana pendidikan. Tetapi, ia melamar sebagai penyiar radio hanya sebagai pengembangan minat dan kerja sampingan saja selain menjadi guru honorer.
Begitu juga dengan Kak Gilang. Usianya 3 tahun lebih tua dariku. Ia baru saja lulus sebagai dokter muda. Sama seperti aku. Sebenarnya, dokter bukanlah cita-citanya, tetapi ia ingin sebagai penyiar radio, karena ia memiliki bakat presenter sejak SMP. Yang hebatnya lagi, ia berasal dari Jakarta. Wah, jauh banget! Selama ini, ia tinggal di rumah tantenya yang sekarang menjadi rumah kontrakannya. Tapi, aku menawarkan diri dengan mengajaknya tinggal di rumahku. Namun, dia menerima tawaranku. Selain supaya aku punya banyak teman, aku juga ingin merasakan mempunyai kakak laki-laki. Sebab, aku hanya anak bungsu yang memiliki kakak perempuan yang sekarang tinggal di Surabaya bersama suaminya.
Dua minggu setelah aku mengeluarkan bakat dan suaraku lewat broadcasting di stasiun radio, aku sedang menanti keputusan akhir. Ya, semoga saja aku diterima sebagai penyiar radio tetap di sana. Tiba-tiba, telepon berbunyi.
“Assalamu’alaikum.”, sapaku dengan sopan.
“Wa’alaikumsalam. Apakah ini Dita Febryanto?”, tanya Si Penelepon.
“Ya, saya sendiri.”, jawabku.
“Saya dari CANVAS FM memberitahukan kepada Anda bahwa...”, kata penelepon itu tanpa meneruskan kata-katanya.
“Ada apa ya, Mbak?”, tanyaku penasaran.
“Selamat! Anda diterima sebagai penyiar radio tetap di CANVAS FM!”, jelas Si Penelepon.
Aku kaget tak percaya.
“Yang benar, Mbak?”, tanyaku bertambah tidak percaya.
“Benar. Kalau mau lebih lanjut, silahkan mendatangi radio CANVAS FM nanti pukul 11.00.”, jawab penelepon itu.
“Ya, Mbak. Terima kasih. Terima kasih banyak.”, kataku sambil terus mengucapkan terima kasih.
“Ya sudah. Jangan lupa nanti ke CANVAS FM, ya? Wassalamu’alaikum.”, jawabnya seraya menutup telepon.
“Wa’alaikumsalam.”, jawabku dengan hati gembira.
Setelah menutup gagang telepon, aku langsung menghadap kiblat dan melaksanakan sujud syukur memanjatkan puji syukur dan berterima kasih pada Allah SWT karena aku berhasil diterima sebagai penyiar radio terkenal di kota ini.
Sekitar pukul 11.00, aku langsung menuju kantor CANVAS FM. Di sana, aku juga melihat Kak Gilang dan Kak Rezkyana. Katanya, mereka diterima juga sebagai penyiar radio. Alhamdulillah. Mereka yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri diterima juga. Sejak perkenalan hingga akhirnya mereka diterima sebagai penyiar radio, hubungan pertemananku dengan mereka semakin akrab. Bahkan masing-masing sudah menganggapnya sebagai saudara sendiri.
Sebelum kembali ke rumahku, aku menyempatkan diri ke rumah kontrakan Kak Gilang untuk membantu membereskan kamarnya yang akan segera pindah ke rumahku. Lumayan banyak yang dia bawa. Aku sempat kesulitan membawanya karena aku mengendarai sepeda motor. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, lama-lama juga menjadi bukit. Lama kelamaan, pekerjaan membereskan seluruh isi rumah Kak Gilang selesai juga.
***
Selama aku tinggal serumah dengan Kak Gilang, aku merasakan perubahan dalam hidupku. Aku yang dulunya jarang berbagi, kini aku suka berbagi ke sesama. Aku yang dulunya manja, sekarang bertambah mandiri meskipun ada orang lain yang tinggal denganku. Oh ya, ternyata Kak Gilang jahil juga padaku. Walaupun aku sering jengkel sama Kak Gilang, tetapi itulah yang membuat hidupku lebih berwarna. Selain itu, aku juga dibekali ilmu tentang penyiaran, ilmu-ilmu kedokteran, dan membantuku memperdalam ilmu menulis cerpen. Hal itulah yang membuatku semakin terjun bebas, bagaikan terjun mengarungi bahtera ilmu yang dulunya belum begitu ku kuasai. Ia juga mahir memainkan gitar dan piano klasik. Ia juga suka memainkan lagu-lagu klasik, seperti Autumn in My Heart, Romance (Soundtrack dari Endless Love), dan lainnya. Selama aku tinggal bersama Kak Gilang, aku sudah menganggap Kak Gilang sebagai kakakku sendiri.
Namun, aku tetap merasa bersyukur pada Allah Swt karena Dia telah memberikan nikmat yang baik, seperti diterima menjadi penyiar radio, mempunyai sahabat yang kuanggap sebagai kakak, dan banyak karunia yang Dia berikan yang tak perlu dihitung.
***
Kembali lagi pada dunia broadcasting. Di stasiun di mana aku bekerja, aku, Kak Gilang, dan Kak Rezky diajari berbagai hal yang berhubungan dengan broadcasting, seperti cara membawakan suatu acara, berwawancara, sampai masalah teknisi alat-alat untuk broadcast. Hari-hariku selama menjadi penyiar radio sangat menyenangkan, selain memperbanyak teman-teman senior, juga menambah pengalaman tentang cita-citaku ini. Serta, hubungan pertemananku dengan Kak Gilang dan Kak Rezky semakin akrab. Aku dan Kak Gilang sempat juga berkenalan dengan Kak Tomi, suaminya Kak Rezky yang merupakan seorang pengusaha warung makan kecil-kecilan.
Tak terasa sudah 1 tahun aku bekerja sebagai penyiar radio di CANVAS FM. Popularitasku sebagai penyiar radio semakin meningkat. Begitu pula dengan dua “kakakku”, Kak Gilang dan Kak Rezky. Sebab, 3 orang inilah yang memiliki bakat dalam bidang broadcast paling baik. Meskipun begitu, tahun ini SPENSALU FM masih mencari orang yang berbakat dalam hal penyiaran itu. Hingga akhirnya, terpilihlah 3 junior yang siap menjadi penyiar radio profesional.
Aku, Kak Gilang, dan Kak Rezky juga berkenalan dengan salah satu juniorku. Namanya Andra. Aku melihatnya sangat aneh. Dari raut muka kecut yang ia tampangkan seolah-olah mengatakan bahwa ia jengkel kepadaku, Kak Gilang, dan Kak Rezky. Padahal kami tak merasa kenal dengan Andra.
Beberapa waktu kemudian setelah aku selesai siaran pada pukul 12 malam tepat, aku keluar dari tempat aku siaran hendak menuju tempat parkir. Sampai di tempat parkir, aku melihat sepeda motor milik Andra. Ada apa Andra datang ke sini, pikirku. Tanpa berpikir panjang, aku kembali masuk ke studio. Lalu, aku mengintip dari balik pintu bahwa sepertinya Andra melakukan sesuatu yang berhubungan dengan alat untuk siaran itu. Untuk antisipasi bila terjadi apa-apa, aku merekam lewat video apa yang dilakukan Andra. Aku juga mendengar apa yang diucapkan Andra yang membuatku kaget.
“Hahaha, dengan begini, hidupku pasti lebih tenang kalau Mas Dita bakalan dipecat gara-gara alatnya rusak! Oh ya, lagipula besok pagi kan jadwalku siaran. Wah, saatnya kubuat hidup Kak Dita hancur berantakan sebagai penyiar radio!”
Astaghfirullah, mengapa Andra melakukan itu, padahal aku tidak memiliki rasa bermusuh dengan Andra karena persaingan popularitas penyiar radio, batinku bertanya. Setelah itu, aku langsung pulang ke rumah dan menjelaskan semuanya pada Kak Gilang.
***
Keesokan harinya, tiba-tiba aku dipanggil oleh Pak Ahmad, bosku. Aku kaget sekali ketika mendengar hal itu. Apalagi di kantor direktur, juga terdapat Andra.
“Dita, apakah kau yang merusak alat-alat penyiaran yang ada di sini?”, tanya Pak Ahmad.
“Benar, Pak! Soalnya yang terakhir siaran kan dia!”, kata Andra memprotes.
“Demi Allah, Pak. Saya tidak melakukan seperti itu!”, jawabku sopan.
“Hei, pengecut! Jangan sok suci loe! Ngaku aja kalau kamu iri sama aku gara-gara aku jauh lebih baik daripada elo! Ya kan?”, kata Andra padaku kasar.
Lalu sejenak aku berpikir tetang kejadian tadi malam setelah aku siaran.
“Oh ya, Pak. Yang merusak alat-alat itu bukan saya, melainkan Andra!”, kataku tegas.
“Bohong, Pak! Jangan dengerin omongan dia! Pecat saja!”, kata Andra yang menurutku sepertinya mulutnya tidak pernah diajarkan sopan santun.
“Apakah kamu punya bukti bahwa Andra bersalah?”, tanya Pak Ahmad.
“Punya, Pak.”, jawabku tegas. Sialnya, handphone-ku yang terisi video tanda bukti bahwa Andra yang melakukan itu semua tertinggal di rumah.
“Hahaha, mana buktinya? Nggak ada kan? Sudah, Pak. Pecat saja! Dita sudah tidak pantas menjadi penyiar radio di sini!”, kata Andra dengan sombongnya.
“Baik, Dita. Ini gaji terakhir kamu dan jangan pernah melamar di sini lagi!”, bentak Pak Ahmad sambil menunjuk jarinya ke arah pintu keluar kantor.
Kemudian, aku langsung pulang ke rumah dengan pasrah. Ketika Kak Gilang dan Kak Rezky, aku hanya menjawabnya dengan senyum.
Malam harinya, aku hanya bisa berdoa pada Allah Swt memohon kesabaran atas cobaan yang Ia berikan padaku.
“Ya Allah, Hamba pasrah dengan semua cobaan yang Engkau berikan. Berikanlah kesabaran yang lapang. Amin.”,
Kemudian, aku mendengar suara klakson motor pertanda Kak Gilang sudah pulang. Aku langsung membuka garasi dan menutup pagar agar tidak kecolongan maling. Sebelum tidur, aku ngobrol dengan Kak Gilang yang sepertinya serius sekali.
“Dik, kamu kenapa tadi kok pulang? Kakak dan Kak Rezky sampai bingung kamu itu ada apa?”, tanya Kak Gilang.
“Nggak apa-apa kok, Kak.”, jawabku polos.
“Dik, jujur saja sama kakak. Lagipula kakak nggak marah bila kamu mau jujur.”, kata Kak Gilang membujukku untuk jujur.
Akhirnya, aku menceritakan yang sebenarnya bahwa aku dituduh merusak alat-alat penyiaran hingga akhirnya aku dipecat. Aku juga mengatakan padanya bahwa aku lupa tidak membawa rekaman video sebagai bukti bahwa Andra bersalah.
“Tenang, dik. Besok kakak coba untuk memberitahukan ini semua. Yang pasti, kakak ingin kamu kembali menjadi penyiar radio. Kakak akan membela kamu!”, Kak Gilang berjanji padaku.
***
Keesokan harinya, kerjaanku di rumah hanyalah mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, bermain musik, serta membuat cerpen yang akan kukirimkan ke majalah SD-ku dulu yang kini seperti majalah-majalah remaja pada umumnya yang mengandung banyak cerita dan kisah-kisah, serta majalah remaja islami yang terkenal di Jawa Timur. Sekitar pukul 09.30, aku mendengar klakson motornya Kak Gilang. Tetapi, Kak Gilang pulang dengan raut muka yang tidak bersahabat.
“Ada apa, Kak? Kok muka kakak nggak bersahabat banget?”, tanyaku baik-baik.
“Sebenarnya, kakak dan Kak Rezky sudah memberi rekaman itu pada Pak Ahmad. Setelah kujelaskan baik-baik, akhirnya kakak dan Kak Rezky memutuskan untuk keluar dan nggak jadi penyiar lagi di CANVAS FM.”, jawab Kak Gilang jelas.
“Kenapa, Kak?”, tanyaku kaget.
“Pak Ahmad masih tidak percaya dengan bukti video tersebut.”, jawab Kak Gilang lemas.
“Nggak apa-apa, Kak. Sabar saja. Sekarang kakak istirahat dulu, berdoa minta petunjuk sama Allah Swt dan ngajarin aku ilmu kedokteran.”, pintaku untuk memberi semangat pada Kak Gilang.
Selama aku dan Kak Gilang menganggur di rumah, kami bisa mengisi waktu luang dengan baik. Kalau aku biasanya menulis cerpen islami yang akan kukirimkan ke berbagai redaksi majalah. Sedangkan Kak Gilang, lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain gitar dan memperdalam ilmu kedokterannya.
***
Beberapa saat kemudian, aku pergi ke redaksi majalah SD-ku untuk mengirimkan beberapa karyaku itu. Di sana, juga terdapat stasiun radio yang namanya sama dengan lembaga sekolah itu. Aku juga bertemu dengan keenam sahabatku yang semuanya menjadi penyiar radio di tempat itu. Aku ditawari supaya menjadi penyiar radio di situ. Dan akhirnya aku menerima tawaran itu. Selain karena aku berminat, juga agar persahabatanku dengan keenam sahabatku kembali seperti masa-masa SD dahulu. Aku juga ingin Kak Gilang dan Kak rezky, 2 sahabat baruku itu ikut bekerja sebagai penyiar radio di situ. Tapi, kuputuskan Kak Gilang yang kutawari, karena Kak Rezky sudah fokus untuk menjadi guru.
Setelah itu, aku pulang dengan hati gembira. Tak sabar rasanya ingin kuberitahu pada Kak Gilang bahwa ada pekerjaan bagus. Namun, sampai di rumah,
“Kak Gilang, ada apa kok mau bawa tas-tas ini semua?”, tanyaku heran.
“Maafkan aku, dik. Kakak nggak akan lama lagi tinggal di sini. Kakak harus kembali ke Jakarta.”, jawab Kak Gilang.
“Lho, kenapa kak?”, tanyaku semakin heran.
“Mungkin kakak harus menjadi dokter di sana. Ya sudah, pesan kakak, tolong simpan kenang-kenangan ini dan jangan sampai hilang. Yang kedua, jangan lupakan kakak, ya? Sekarang kakak mau ke rumahnya Kak Rezky untuk mengucapkan salam perpisahan. Sekalian, kakak harus cepat pergi. Sampai ketemu lagi ya, dik. Assalamu’alaikum.”, jawab Kak Gilang sambil mengucapkan salam perpisahan dan memberikan jam tangan digital-nya.
“Wa’alaikumsalam.”, jawabku berat.
Dengan berat hati pula aku harus berpisah dengan sahabat yang kuanggap sebagai kakak sendiri yang sudah mengajarkanku banyak ilmu dan pengalaman. Selama berpisah, Kak. Semoga kakak bisa menjadi dokter sukses di sana.
Walaupun aku merasa sendiri bila ditinggal Kak Gilang, aku merasa masih mempunyai keenam sahabatku ketika SD, juga keluargaku. Sekarang, aku sudah bekerja sebagai dokter dan penyiar radio. Setiap pulang kerja dari rumah sakit sekitar pukul 11.00, aku selalu ke studio untuk siaran. Aku merasa nyaman bekerja di stasiun radio tersebut.
***
Satu bulan kemudian, saat itu aku berada di kantin yayasan bersama sahabat-sahabatku. Namun, tiba-tiba aku kedatangan tamu.
“Dik Dita, ya?”, tanya orang itu padaku.
Aku kembali membuka memori lalu, Ya, aku ingat. Orang itu adalah Pak Ahmad, bosku dulu.
“Ada apa ya, Pak?”, tanyaku halus.
“Kedatangan saya kemari adalah untuk menawar Anda supaya kembali ke stasiun radio kami bersama Rezky dan Gilang. Kejadian 5 bulan lalu akhirnya terbongkar sudah kalau Andra benar-benar bersalah setelah Office Boy kami memberitahu kejadian yang sebenarnya. Selain itu, saya juga meminta maaf atas kesalahan saya yang lalu.”, jawab Pak Ahmad jelas.
“Sebelumnya, saya minta maaf. Saya menerima tawaran Bapak. Tapi, saya tidak bisa bekerja lagi di situ karena saya sudah nyaman bekerja di sini dan sebagai dokter.”, kataku sopan.
“Ya sudah. Saya hargai keputusanmu. Ngomong-ngomong, Gilang dan Rezky ada di mana sekarang?”, tanya Pak Ahmad.
“Kak Rezky sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kalimantan. Sedangkan Gilang sudah menjadi dokter spesialis di Jakarta.”, jawabku jelas.
“Ya sudah. Terima kasih atas jawabannya, saya pamit dulu. Assalamu’alaikum.”, kata Pak Ahmad seraya meninggalkan ruang tamu.
Walaupun aku ditinggal jauh oleh Kak Gilang dan Kak Rezkyana, tapi mereka tetap ada dibenakku. Mereka yang sudah membantuku, mendukungku, sampai akhirnya aku bisa sukses seperti saat ini. Sukses menjadi dokter, sukses menjadi penyiar radio. Terima kasih Ya Allah, karena Engkau telah memberiku jalan yang lurus. Terima kasih Kak Rezky. Terima kasih Kak Gilang. Semoga persahabatan kita terus kuingat.
***